BAB V HUKUM MENAKWILKAN MIMPI
Bandung, 21 Desember 2021
Mimpi termasuk dalam perkara gaib. Itulah alasannya kebanyakan para mubaligh melarang untuk mencari takwil mimpi. Di samping langkanya orang yang mengetahui seluk-beluk tafsir mimpi, penafsiran mimpi bisa sangat rentan keliru. Bahkan, orang sekaliber Abu Bakar RA pun tak begitu pas ketika menakwilkan mimpi.
1. Kedudukan Disipin Ilmu Takwil Mimpi
Seorang Ulama yang bernama Abdu al-Ghani bin Ismail atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Nablusi memiliki karya yang bernama Ta'thir alAnam fi Tafsir Ahlam tentang tafsir mimpi. Dalam kitab itu, ia menjelaskan ilmu tentang tafsir mimpi sebagai disiplin ilmu yang cukup tinggi kedudukannya, karena mimpi para Nabi juga termasuk dari Wahyu kenabian.
2. Hukum Fikih dalam menakwilkan mimpi
Para ulama bersepakat akan kebolehan menceritakan mimpi dan meminta penakwilan darinya. Bahkan, menurut Markaz Al-Fatwa (4473), yang mengingkari mimpi hanyalah kaum mu'tazilah dan orangorang atheis saja. Namun, dalam menafsirkan mimpi perlu diperhatikan rujukan yang jelas. Misalkan, merujuk pada tafsir mimpi yang ditulis para ulama seperti Ibnu Sirin.
Imam Ibnu Sirin, dalam bukunya Tafsir Mimpi Menurut Islam, berkata: “Tidak semua mimpi dapat ditafsirkan makna yang terkandung didalamnya. Ada kalanya mimpi bagaikan angin lalu namun ada yang benar-benar menjadi kenyataan. Mimpi insan yang bertakwa merupakan pemberitahuan yang akan terjadi, karena Rasulullah ﷺ tidak bermimpi melainkan mimpi baginda menjadi kenyataan. Sedangkan mimpi insan yang tidak beriman merupakan berita yang disebarkan oleh syaitan.”
Demikian pula Nabi Yusuf yang dikenal sangat handal menakwilkan mimpi. Risalah kenabiannya ditandai dengan mimpi melihat matahari, bulan, dan bintang yang sujud kepadanya. (QS Yusuf [12]: 4). Setelah itu, Nabi Yusuf banyak menafsirkan mimpi hingga menjadikannya perdana Menteri Mesir saat itu. Demikian dikisahkan Alquran dalam Surat Yusuf.
Nabi ﷺ sendiri pernah menafsirkan mimpinya maupun mimpi orang lain. Bahkan, Abu Bakar RA pernah menafsirkan mimpi orang lain di hadapan Rasulullah ﷺ. Ibnu Abbas meriwayatkan, suatu ketika datang seorang laki-laki kepada Rasulullah ﷺ, "Tadi malam aku bermimpi melihat segumpal awan yang meneteskan minyak samin dan madu, lantas kulihat orang banyak memintanya. Ada yang meminta banyak dan ada yang meminta sedikit. Tiba-tiba ada tali yang menghubungkan antara langit dan bumi. Kulihat engkau memegangnya kemudian engkau naik. Kemudian ada orang lain memegangnya dan ia pergunakan untuk naik. Kemudian ada orang yang mengambilnya dan dipergunakannya untuk naik namun tali terputus. Kemudian tali itu tersambung," kisah laki-laki tersebut.
Abu Bakar yang berada di sisi Rasulullah ﷺmeminta izin untuk menakwilkannya. "Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku untuk tebusanmu, demi ALLAH ﷻ, biarkan aku yang menakwilkannya," pinta Abu Bakar.
Rasulullah ﷺ pun menyetujuinya.
"Adapun awan, itulah Islam. Adapun madu dan minyak samin yang menetes, itulah Alquran karena manisnya menetes. Maka, silakan ada yang memperbanyak atau mempersedikit. Adapun tali yang menghubungkan langit dan bumi adalah kebenaran yang engkau pegang teguh sekarang ini yang karenanya ALLAH ﷻ meninggikan kedudukanmu. Kemudian ada seseorang sepeninggalmu mengambilnya dan ia pun menjadi tinggi kedudukannya. Ada pula orang lain yang mengambilnya dan terputus, kemudian tali itu tersambung kembali sehingga ia menjadi tinggi kedudukannya karenanya," papar Abu Bakar.
Kemudian, Abu Bakar RA pun meminta pembenaran kepada Rasulullah ﷺ apakah takwilan mimpinya benar atau tidak. Nabi ﷺ membenarkan sebahagiannya dan menyalahkan sebahagian yang lain. "Demi ALLAH ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kepadaku takwil mana yang salah?" pinta Abu Bakar. Nabi SAW mengingatkan, "Janganlah engkau bersumpah," (HR Bukhari).
Hadis sahih ini menjadi dalil bolehnya menceritakan mimpi kepada orang lain, meminta untuk ditafsirkan mimpinya, serta bolehnya untuk menafsirkan mimpi orang lain. Namun, Nabi ﷺ memberikan kaidahkaidah mimpi apa saja yang boleh ditafsirkan.
3. Tiga Kriteria Mimpi
Dalam riwayat Auf bin Malik, Nabi ﷺ membagi tiga kriteria mimpi yang dialami manusia. Pertama, mimpi buruk atau menakutkan yang datang dari syetan dan membuat sedih. Kedua, mimpi yang menggelisahkan seseorang ketika terjaga dan terus terbawa dalam mimpinya. Ketiga, mimpi yang menjadi isyarat dari 46 bagian kenabian. (HR Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Majah).
Secara ringkas, hadis dari Abu Hurairah RA menyebutkan, "Mimpi itu ada tiga macam; bisikan hati, ditakuti setan, dan kabar gembira dari ALLAH." (HR Bukhari).
Jika seseorang mimpi pada kategori yang pertama maka mimpi ini tak perlu diceritakan apalagi ditafsirkan. Sebagaimana riwayat dari Jabir mengisahkan seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi ﷺ tentang mimpinya semalam. "Ya Rasulullah, aku bermimpi kemarin seakanakan kepalaku dipenggal, bagaimana itu?" tanya laki-laki tersebut. Rasulullah ﷺ pun bersabda, "Apabila setan mempermainkan salah seorang dari kalian di dalam tidurnya maka janganlah dia menceritakannya kepada orang lain." (HR Muslim).
Demikian juga mimpi kategori yang kedua. Mimpi buruk yang selalu teringat bisa jadi pertanda keburukan. Maka, hendaklah si pemimpi menahan diri untuk menceritakannya kepada orang lain.
Adapun mimpi jenis ketiga mengindikasikan kebenaran. Mimpi yang baik dan menggembirakan inilah yang patut diceritakan dan dimintakan penakwilannya kepada orang saleh. Imam Malik memesankan, tidak seluruh mimpi patut diceritakan. Hanya mimpi-mimpi yang baik saja yang patut untuk diceritakan.
Kesimpulan:
Berdasarkan keterangan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa menakwilkan mimpi adalah perkara yang dibolehkan dalam Islam. Dengan catatan penakwilan harus diserahkan kepada orang sholeh dengan mengikuti petunjuk Al-Qur'an dan Sunnah, serta mimpi yang hendak ditakwil itu adalah harus mimpi yang baik. Adapun Mimpi-mimpi Muhammad Qasim isinya adalah Kabar Gembira dan Peringatan.
Komentar
Posting Komentar